Jumat, 15 April 2011

sejarah pembuatan pancasila

Sejarah Pembuatan Pancasila
      Pancasila Sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia telah diterima secara luas dan telah bersifat final. Namun walaupun pancasila saat ini telah dihayati sebagai filsafat hidup bangsa dan dasar negara, yang merupakan perwujudan dari jiwa bangsa,sikap mental,budaya dan karakteristik bangsa, saat ini asal usul dan kapan di keluarkan/disampaikannnya Pancasila masih dijadikan kajian yang menimbulkan banyak sekali penafsiran dan konflik yang belum selesai hingga saat ini.
Namun dibalik itu semua ternyata pancasila memang mempunyai sejarah yang panjang tentang perumusan-perumusan terbentuknya pancasila, dalam perjalanan ketata negaraan Indonesia. Sejarah ini begitu sensitif dan salah-salah bisa mengancam keutuhan Negara Indonesia. Hal ini dikarenakan begitu banyak polemik serta kontroversi yang akut dan berkepanjangan baik mengenai siapa pengusul pertama sampai dengan pencetus istilah Pancasila.
Dari beberapa sumber, setidaknya ada beberapa rumusan Pancasila yang telah atau pernah muncul. Rumusan Pancasila yang satu dengan rumusan yang lain ada yang berbeda namun ada pula yang sama. Secara berturut turut akan dikemukakan rumusan dari Muh Yamin, Sukarno, Piagam Jakarta, Hasil BPUPKI, Hasil PPKI, Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 (Dekrit Presiden 5 Juli 1959), Versi Berbeda, dan Versi populer yang berkembang di masyarakat.
Rumusan I: Muh. Yamin
Pada sesi pertama persidangan BPUPKI yang dilaksanakan pada 29 Mei – 1 Juni 1945 beberapa anggota BPUPKI diminta untuk menyampaikan usulan mengenai bahan-bahan konstitusi dan rancangan “blue print” Negara Republik Indonesia yang akan didirikan. Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muh. Yamin menyampaikan usul dasar negara dihadapan sidang pleno BPUPKI baik dalam pidato maupun secara tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI.

Rumusan Pidato

Baik dalam kerangka uraian pidato maupun dalam presentasi lisan Muh Yamin mengemukakan lima calon dasar negara yaitu:
1.Peri Kebangsaan
2.Peri Kemanusiaan
3.Peri ke-Tuhanan
4.Peri Kerakyatan
5.Kesejahteraan Rakyat
Selain usulan lisan Muh Yamin tercatat menyampaikan usulan tertulis mengenai rancangan dasar negara. Usulan tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI oleh Muh Yamin berbeda dengan rumusan kata-kata dan sistematikanya dengan yang dipresentasikan secara lisan, yaitu:
1.Ketuhanan Yang Maha Esa
2.Kebangsaan Persatuan Indonesia
3.Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan II: Ir. Soekarno
Selain Muh Yamin, beberapa anggota BPUPKI juga menyampaikan usul dasar negara, diantaranya adalah Ir Sukarno[1]. Usul ini disampaikan pada 1 Juni 1945 yang kemudian dikenal sebagai hari lahir Pancasila.
Usul Sukarno sebenarnya tidak hanya satu melainkan tiga buah usulan calon dasar negara yaitu lima prinsip, tiga prinsip, dan satu prinsip. Sukarno pula- lah yang mengemukakan dan menggunakan istilah “Pancasila” (secara harfiah berarti lima dasar) pada rumusannya ini atas saran seorang ahli bahasa (Muh Yamin) yang duduk di sebelah Sukarno. Oleh karena itu rumusan Sukarno di atas disebut dengan Pancasila, Trisila, dan Ekasila.
Rumusan Pancasila
1.Kebangsaan Indonesia
2.Internasionalisme,-atau peri-kemanusiaan
3.Mufakat,-atau demokrasi
4.Kesejahteraan sosial
5.ke-Tuhanan yang berkebudayaan
Rumusan Trisila
1.Socio-nationalisme
2.Socio-demokratie
3.ke-Tuhanan

Rumusan Ekasila

1.Gotong-Royong
Rumusan III: Piagam Jakarta
Usulan-usulan blue print Negara Indonesia telah dikemukakan anggota-anggota BPUPKI pada sesi pertama yang berakhir tanggal 1 Juni 1945. Selama reses antara 2 Juni – 9 Juli 1945, delapan orang anggota BPUPKI ditunjuk sebagai panitia kecil yang bertugas untuk menampung dan menyelaraskan usul-usul anggota BPUPKI yang telah masuk.
Pada 22 Juni 1945 panitia kecil tersebut mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI dalam rapat informal. Rapat tersebut memutuskan membentuk suatu panitia kecil berbeda (kemudian dikenal dengan sebutan “Panitia Sembilan”) yang bertugas untuk menyelaraskan mengenai hubungan Negara dan Agama.
Dalam menentukan hubungan negara dan agama anggota BPUPKI terbelah antara golongan Islam yang menghendaki bentuk teokrasi Islam dengan golongan Kebangsaan yang menghendaki bentuk negara sekuler dimana negara sama sekali tidak diperbolehkan bergerak di bidang agama. Persetujuan di antara dua golongan yang dilakukan oleh Panitia Sembilan tercantum dalam sebuah dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”.
Dokumen ini pula yang disebut Piagam Jakarta (Jakarta Charter) oleh Mr. Muh Yamin. Adapun rumusan rancangan dasar negara terdapat di akhir paragraf keempat dari dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (paragraf 1-3 berisi rancangan pernyataan kemerdekaan/proklamasi/ declaration of independence).
Rumusan ini merupakan rumusan pertama sebagai hasil kesepakatan para “Pendiri Bangsa”.
Rumusan kalimat
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Alternatif pembacaan
Alternatif pembacaan rumusan kalimat rancangan dasar negara pada Piagam Jakarta dimaksudkan untuk memperjelas persetujuan kedua golongan dalam BPUPKI sebagaimana terekam dalam dokumen itu dengan menjadikan anak kalimat terakhir dalam paragraf keempat tersebut menjadi sub-sub anak kalimat.
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan
[A] dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar,
[A.1] kemanusiaan yang adil dan beradab,
[A.2] persatuan Indonesia, dan
[A.3] kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan[;] serta
[B] dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
1.Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2.Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Rumusan populer

Versi populer rumusan rancangan Pancasila menurut Piagam Jakarta yang beredar di masyarakat adalah:
1.Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan IV: BPUPKI
Pada sesi kedua persidangan BPUPKI yang berlangsung pada 10-17 Juli 1945, dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (baca Piagam Jakarta) dibahas kembali secara resmi dalam rapat pleno tanggal 10 dan 14 Juli 1945.
Dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” tersebut dipecah dan diperluas menjadi dua buah dokumen berbeda yaitu Declaration of Independence (berasal dari paragraf 1-3 yang diperluas menjadi 12 paragraf) dan Pembukaan (berasal dari paragraf 4 tanpa perluasan sedikitpun).
Rumusan yang diterima oleh rapat pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 hanya sedikit berbeda dengan rumusan Piagam Jakarta yaitu dengan menghilangkan kata “serta” dalam sub anak kalimat terakhir. Rumusan rancangan dasar negara hasil sidang BPUPKI, yang merupakan rumusan resmi pertama, jarang dikenal oleh masyarakat luas.
Rumusan kalimat
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
1.Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2.Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan V: PPKI
Menyerahnya Kekaisaran Jepang yang mendadak dan diikuti dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diumumkan sendiri oleh Bangsa Indonesia (lebih awal dari kesepakatan semula dengan Tentara Angkatan Darat XVI Jepang) menimbulkan situasi darurat yang harus segera diselesaikan. Sore hari tanggal 17 Agustus 1945, wakil-wakil dari Indonesia daerah Kaigun (Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan), diantaranya A. A. Maramis, Mr., menemui Sukarno menyatakan keberatan dengan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” untuk ikut disahkan menjadi bagian dasar negara.
Untuk menjaga integrasi bangsa yang baru diproklamasikan, Sukarno segera menghubungi Hatta dan berdua menemui wakil-wakil golongan Islam. Semula, wakil golongan Islam, diantaranya Teuku Moh Hasan, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo, keberatan dengan usul penghapusan itu. Setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mereka menyetujui penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sebuah “emergency exit” yang hanya bersifat sementara dan demi keutuhan Indonesia.
Pagi harinya tanggal 18 Agustus 1945 usul penghilangan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dikemukakan dalam rapat pleno PPKI. Selain itu dalam rapat pleno terdapat usulan untuk menghilangkan frasa “menurut dasar” dari Ki Bagus Hadikusumo.
Rumusan dasar negara yang terdapat dalam paragraf keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar ini merupakan rumusan resmi kedua dan nantinya akan dipakai oleh bangsa Indonesia hingga kini. UUD inilah yang nantinya dikenal dengan UUD 1945.
Rumusan kalimat
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
1.ke-Tuhanan Yang Maha Esa
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan VI: Konstitusi RIS
Pendudukan wilayah Indonesia oleh NICA menjadikan wilayah Republik Indonesia semakin kecil dan terdesak. Akhirnya pada akhir 1949 Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta (RI Yogyakarta) terpaksa menerima bentuk negara federal yang disodorkan pemerintah kolonial Belanda dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) dan hanya menjadi sebuah negara bagian saja.
Walaupun UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 tetap berlaku bagi RI Yogyakarta, namun RIS sendiri mempunyai sebuah Konstitusi Federal (Konstitusi RIS) sebagai hasil permufakatan seluruh negara bagian dari RIS. Dalam Konstitusi RIS rumusan dasar negara terdapat dalam Mukaddimah (pembukaan) paragraf ketiga. Konstitusi RIS disetujui pada 14 Desember 1949 oleh enam belas negara bagian dan satuan kenegaraan yang tergabung dalam RIS.

Rumusan kalimat

“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
1.ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
2.perikemanusiaan,
3.kebangsaan,
4.kerakyatan
5.dan keadilan sosial
Rumusan VII: UUD Sementara
Segera setelah RIS berdiri, negara itu mulai menempuh jalan kehancuran. Hanya dalam hitungan bulan negara bagian RIS membubarkan diri dan bergabung dengan negara bagian RI Yogyakarta.
Pada Mei 1950 hanya ada tiga negara bagian yang tetap eksis yaitu RI Yogyakarta, NIT, dan NST. Setelah melalui beberapa pertemuan yang intensif RI Yogyakarta dan RIS, sebagai kuasa dari NIT dan NST, menyetujui pembentukan negara kesatuan dan mengadakan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara.
Perubahan tersebut dilakukan dengan menerbitkan UU RIS No 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara (LN RIS Tahun 1950 No 56, TLN RIS No 37) yang disahkan tanggal 15 Agustus 1950. Rumusan dasar negara kesatuan ini terdapat dalam paragraf keempat dari Mukaddimah (pembukaan) UUD Sementara Tahun 1950.
Rumusan kalimat
“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, …”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
1.ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
2.perikemanusiaan,
3.kebangsaan,
4.kerakyatan
5.dan keadilan sosial
Rumusan VIII: UUD 1945
Kegagalan Konstituante untuk menyusun sebuah UUD yang akan menggantikan UUD Sementara yang disahkan 15 Agustus 1950 menimbulkan bahaya bagi keutuhan negara. Untuk itulah pada 5 Juli 1959 Presiden Indonesia saat itu, Sukarno, mengambil langkah mengeluarkan Dekrit Kepala Negara yang salah satu isinya menetapkan berlakunya kembali UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 menjadi UUD Negara Indonesia menggantikan UUD Sementara.
Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945 maka rumusan Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD kembali menjadi rumusan resmi yang digunakan. Rumusan ini pula yang diterima oleh MPR, yang pernah menjadi lembaga tertinggi negara sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat antara tahun 1960-2004, dalam berbagai produk ketetapannya, diantaranya:
1.Tap MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, dan
2.Tap MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Rumusan kalimat
“… dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
1.Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan IX: Versi Berbeda

Selain mengutip secara utuh rumusan dalam UUD 1945, MPR pernah membuat rumusan yang agak sedikit berbeda. Rumusan ini terdapat dalam lampiran Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia.
Rumusan
1.Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.Keadilan sosial.
Rumusan X: Versi Populer
Rumusan terakhir yang akan dikemukakan adalah rumusan yang beredar dan diterima secara luas oleh masyarakat. Rumusan Pancasila versi populer inilah yang dikenal secara umum dan diajarkan secara luas di dunia pendidikan sebagai rumusan dasar negara. Rumusan ini pada dasarnya sama dengan rumusan dalam UUD 1945, hanya saja menghilangkan kata “dan” serta frasa “serta dengan mewujudkan suatu” pada sub anak kalimat terakhir.
Rumusan ini pula yang terdapat dalam lampiran Tap MPR No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)
Rumusan
1.Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Catatan Kaki
1.^ Sidang Sesi I BPUPKI tidak hanya membahas mengenai calon dasar negara namun juga membahas hal yang lain. Tercatat dua anggota Moh. Hatta, Drs. dan Supomo, Mr. mendapat kesempatan berpidato yang agak panjang. Hatta berpidato mengenai perekonomian Indonesia sedangkan Supomo yang kelak menjadi arsitek UUD berbicara mengenai corak Negara Integralistik
2.^ Negara Indonesia Timur, wilayahnya meliputi Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya, Kepulauan Nusa Tenggara, dan seluruh kepulauan Maluku
3.^ Negara Sumatra Timur, wilayahnya meliputi bagian timur provinsi Sumut (sekarang)
“Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (Pasal 1 Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 jo Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 jo Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945).

Soal Perubahan UUD 1945

 Tanpa Penyerasian Akan Ciptakan Masalah
Kompas: 29 Julo 2002
Jakarta, Kompas - Tanpa proses sinkronisasi dan penyerasian sistematika, perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dapat menimbulkan banyak masalah di kemudian hari. Naskah perubahan UUD 1945 akan menjadi konstitusi yang sulit dipahami rakyat dan dipandang lucu oleh banyak negara karena memiliki kekacauan sistematika. Oleh karena itu, meski materi perubahan UUD 1945 disahkan di Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (ST MPR) 2002, sistematika penyusunan pasal dalam perubahan UUD 1945 masih perlu diserasikan.
Demikian pendapat Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia, Prof Dr Jimly Asshiddiqie, kepada Kompas, Sabtu (27/7).
Di tempat terpisah, staf pengajar Ilmu Pemerintahan pada Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) Yogyakarta, Widyo Hari Murdianto, mengakui, ada pasal-pasal dalam perubahan UUD 1945 yang tak sinkron. Ini terjadi karena proses perubahan konstitusi itu kurang terencana dan cenderung reaktif. Di sisi lain, paradigma kekuasaan anggota MPR yang masih sentralistis tidak sepenuhnya berubah. Salah satu pasal yang bisa menciptakan konflik kelembagaan adalah soal Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Selain tidak sinkron dalam perubahan UUD 1945, ketidaksinkronan juga terjadi antara perubahan UUD 1945 dengan Ketetapan MPR. "Dalam satu lembaga yang sama, bisa muncul rumusan yang berbeda-beda," kata Bambang Widjojanto dalam seminar di Malang.
Jimly juga mengatakan, hubungan pasal-pasal dalam perubahan UUD 1945 juga belum sempurna. Dengan demikian, jika dirinci satu per satu, bisa saja menimbulkan konflik antarlembaga dalam tahap implementasi di kemudian hari. Namun, hal tersebut tidak terlalu merisaukan karena dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 24B telah diatur keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) yang salah satu tugasnya adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD.
Pada Rancangan Perubahan Keempat UUD 1945 Aturan Peralihan, Pasal III, juga telah diatur pembentukan MK, yaitu selambat-lambatnya 17 Agustus 2003. Sedangkan sebelum MK terbentuk, segala kewenangan MK dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).
"Jadi, kalaupun di kemudian hari seandainya terjadi perbedaan penafsiran antarlembaga dalam menafsirkan UUD, hal itu dapat segera diselesaikan karena sudah ada jalan keluarnya," ucap Jimly.
Untuk merumuskan konstitusi yang sempurna, lanjutnya, memang sulit. Panitia Ad Hoc (PAH) I sesungguhnya sudah bekerja keras merumuskan perubahan UUD 1945. Ketidaksempurnaan terjadi semata-mata karena perubahan dilakukan secara bertahap, tanpa catatan akademis, perubahan pun dilakukan dengan cepat dan banyak sekali.
Penyerasian sistematika
Menurut Jimly, persoalan kekacauan sistematika perubahan UUD 1945 jauh lebih krusial. Alasannya, dalam ilmu hukum, metode sistematika yang keliru dapat menimbulkan penafsiran yang juga keliru.
Dijelaskan, dalam sistematika hukum yang berlaku universal, pasal yang memuat prinsip-prinsip dasar selalu ditempatkan mendahului pasal yang mengatur prinsip-prinsip teknis. Oleh karena itu, dalam konstitusi di banyak negara, pasal yang mengatur tentang hak asasi manusia ditempatkan di bagian depan. Akan tetapi, dalam Perubahan Kedua UUD 1945, pasal yang mengatur hak asasi manusia malah ditempatkan di bagian belakang, yaitu Bab XA.
Perubahan UUD 1945 juga belum menempatkan pasal-pasal yang mengatur organ-organ negara dalam satu kesatuan sehingga menyulitkan penafsiran. Dicontohkan, MPR, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan lembaga perwakilan, ditempatkan dalam bab-bab yang terpisah. MPR ditempatkan dalam Bab II, DPR ditempatkan dalam Bab VII, sedangkan DPD diatur dalam Bab VIIA.
Kekacauan sistematika tersebut terjadi sebagai dampak dari adanya ketidakkonsistenan penerapan metode perubahan. Secara formal menggunakan metode adendum, penambahan. Namun, pada praktiknya banyak mengubah materi konstitusi yang ada, baik dari segi kuantitas maupun susbstansi.
Disadari MPR
Jimly berpendapat, PAH I Badan Pekerja (BP) MPR telah menyadari adanya ketidaksempurnaan sistematika perubahan UUD 1945. Akan tetapi, MPR berada dalam posisi sulit. Di satu sisi tidak puas dengan UUD 1945, di pihak lain khawatir untuk membentuk UUD baru. "Jadi, saya percaya, dengan kearifannya, mereka sedang mencari celah untuk menyelesaikan persoalan ini," ucapnya.
Sebagai jalan tengah, Jimly mengusulkan agar seluruh materi perubahan UUD 1945 disahkan di ST MPR 2002. Namun, ST MPR juga diharapkan mengeluarkan Ketetapan MPR yang menetapkan agar substansi materi perubahan UUD 1945 diserasikan dalam satu naskah. MPR juga menugaskan kepada Badan Pekerja MPR untuk membentuk Panitia Penyerasi Naskah Konstitusi.
Keanggotaan Panitia Penyerasi tersebut bisa hanya terdiri dari para ahli yang memiliki kemampuan teknis dalam menyusun perundang-undangan, bisa juga merupakan gabungan antara ahli dan Badan Pekerja MPR.
Soal DPD
Widyo Hari Murdianto mencontohkan keberadaan DPD. Sesuai perubahan UUD 1945, DPD bukan hanya merepresentasikan daerah, tetapi juga diberikan hak dan wewenang untuk ikut membahas rancangan undang-undang (RUU) yang terkait dengan otonomi daerah dan pemekaran wilayah. Tetapi, DPD tak diberikan wewenang untuk ikut mengesahkan UU.
"Kewenangan untuk mengesahkan UU kan tetap berada di tangan DPR dan Presiden. Jadi, kalau DPD ikut membahas, apa fungsinya. Tampak sekali perubahan konstitusi masih setengah hati mengakui otonomi daerah atau desentralisasi. Dari perubahan UUD 1945 ini tampak ada kekuasaan yang sentralistis. DPD boleh ikut membahas RUU, tetapi giliran mengesahkan, tetap pemerintah pusat, yakni DPR dan Presiden. Daerah hanya menerima saja," ujar mantan Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan STPMD Yogyakarta tersebut.
Widyo Hari memperkirakan, apabila Perubahan Keempat UUD 1945 tetap disahkan dalam ST MPR tahun ini, namun tidak ada upaya sinkronisasi perubahan konstitusi dari perubahan pertama sampai keempat, di tengah jalan akan muncul berbagai persoalan. Akan muncul problema hukum dan politik di kemudian hari, yang tidak bisa begitu saja diselesaikan oleh pemerintah, sebab pengaturannya dalam konstitusi tidak jelas.
"Paling gampang, kalau DPD tidak setuju terhadap suatu RUU yang akan disahkan DPR dan Presiden yang terkait dengan daerah, apa yang bisa dilakukannya? Ini pasti di masa mendatang, jika tidak ada upaya sinkronisasi perubahan konstitusi, akan muncul dan menyulitkan bangsa ini sendiri," paparnya.
UUD 1945 dan Tatib
Sejumlah pasal di Peraturan Tata Tertib (Tatib) MPR yang dikerjakan Panitia Ad Hoc (PAH) II Badan Pekerja MPR ternyata tidak sinkron dengan hasil perubahan UUD 1945 yang dikerjakan PAH I BP MPR. Padahal semestinya Peraturan Tata Tertib MPR dibuat sebagai turunan dari perubahan UUD 1945.
Ketua PAH II Rambe Kamarulzaman (Fraksi Partai Golkar) dan anggota PAH II dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) Agus Tjondro Prayitno, yang dihubungi secara terpisah hari Sabtu, mengakui, memang ada sejumlah pasal di Tata Tertib MPR yang tidak sesuai dengan hasil perubahan UUD 1945.
"Karena nanti soal tata tertib ini dibahas di komisi, tidak di awal sidang tahunan, kami di PAH II sepakat sinkronisasi antara perubahan Tata Tertib MPR dan perubahan UUD 1945 dilakukan oleh fraksi masing-masing," ujar Rambe.
Sejumlah pasal tata tertib yang tidak sinkron dengan perubahan UUD 1945 itu terutama berkaitan dengan kewenangan MPR. Sesuai dengan hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 3, kewenangan MPR nanti hanya ada tiga. Pertama, mengubah dan menetapkan UUD. Kedua, melantik presiden dan/atau wakil presiden. Ketiga, memberhentikan presiden dan/ atau wakil presiden.
Agus Tjondro Prayitno berpendapat, setelah Pasal 1 Ayat (2) diubah, MPR bukan lagi superbody dan kewenangannya dibatasi dalam Pasal 3. Naskah Asli Pasal 1 Ayat (2) berbunyi, Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pada Perubahan Ketiga UUD 1945, Pasal 1 Ayat (2) berbunyi, Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Dengan adanya perubahan UUD 1945, MPR tidak lagi berwenang mencalonkan presiden dan wakil presiden karena sekarang kewenangannya ada di partai politik. MPR juga tidak lagi berwenang menguji undang-undang terhadap UUD karena kewenangan itu ada pada MK.
Agus Tjondro mengungkapkan, penambahan kewenangan MPR selain yang diatur dalam perubahan UUD 1945 paling tidak disebabkan oleh tiga hal. Pertama, masih ada kebingungan di sebagian anggota MPR untuk mengoperasikan UUD 1945 hasil perubahan. Kedua, tidak rela dengan berkurangnya kewenangan MPR pascaperubahan UUD 1945. "Ketiga, kemungkinan ini menjadi mainan politik untuk Pemilihan Umum 2004," katanya.
Rambe berpendapat penyesuaian tata tertib dengan hasil perubahan UUD 1945 itu harus dilakukan secara bertahap sehingga tidak bisa diselesaikan dalam Sidang Tahunan MPR 2002. "Yang jelas, tata tertib ini harus tuntas pada Sidang Tahunan MPR 2003 yang akan dipakai untuk menyesuaikan Ketetapan-ketetapan MPR dengan hasil perubahan UUD 1945. Tetapi di Sidang Tahunan MPR 2002 yang harus dilakukan misalnya penyesuaian peristilahan lembaga tinggi negara yang sudah berubah," katanya. (BUR/TRA/SUT)

Partai Politik, Gangsterisme dan Perjuangan Pancasila


     Simone Weil dalam tulisannya ‘Note sur la suppression gĂ©nerale des partis politiques’ mengatakan bahwa pada dasarnya partai politik adalah totaliter (Weil, 1957 :126-148). Hal itu disebabkan karena 1. partai politik adalah mesin pengelola semangat masyarakat (publik), 2. partai politik memaksakan kehendaknya kepada anggotanya dan mereka yang dekat dengannya, dan 3. partai politik memandang kebaikan tertinggi adalah perkembangan dan pertumbuhan partai. Di pihak lain, Hannah Arendt mengetengahkan diskursus sistim dewan yang dipimpin oleh orang-orang yang terbaik. Orang-orang yang terbaik itu bukan kumpulan orang-orang kaya ataupun orang-orang terhormat, tetapi orang-orang yang memahami makna kemerdekaan publik dan tidak dapat hidup tanpanya (Shanks, 1995 :202).

Umum diketahui bahwa partai politik dipandang sebagai alat pencapai kesejahteraan masyarakat. Hal ini setidaknya terbukti dari janji-janji politik dari para calon presiden, calon gubernur dan calon bupati. Janji-janji mereka memperlihatkan adanya ideologi partai politik sebagai alat pencapai kesejahteraan masyarakat. Pada titik ini, partai politik kontemporer dapat dipandang sebagai kelanjutan cita-cita polis di Yunani Kuno.
Walau partai politik mencanangkan dan menempatkan kesejahteraan masyarakat sebagai brand-mark dan anggota-anggota partai politik (di dewan) telah banyak berkiprah di dalam pembangunan masyarakat, masyarakat luas (publik) jangan gelap mata atau terpuaskan dengan hal itu. Weil dalam tulisannya di atas merekomendasikan penghapusan partai politik, dan Shanks –dalam tanggapannya kepada pemikiran Arendt di atas- mengatakan bahwa bahaya lain dari sistim dewan yaitu gangsterisme. Walaupun Arendt mengatakan ‘orang-orang yang terbaik’ yang menempati dewan, Shanks melihat justru orang-orang itu adalah semacam gangsterisme.
Ada hubungan antara sistim partai dengan sistim dewan yaitu: orang-orang yang duduk di dewan adalah orang-orang partai. Hubungan semacam ini sangat jelas di Indonesia. Setidaknya, sebagian besar anggota-anggota dewan adalah anggota partai. Sementara itu, pengalaman empiris menunjukkan banyak sekali kekecewaan masyarakat terhadap anggota dewan (yang adalah sebagian besar anggota partai politik) meski masih banyak juga anggota masyarakat (publik) yang masih terlibat untuk memilih anggota partai politik (untuk menjadi anggota dewan). Isu masih banyaknya anggota masyarakat yang memilih adalah masalah berbeda dari isu kekecewaan masyarakat terhadap partai politik.
Bertolak dari kekecewaan itu dan mencegah partai politik menjadi kelompok gangster, persoalan yang harus dicermati adalah bagaimana menjaga partai politik yang sudah ada tetap sebagai cara/alat untuk mencapai cita-cita mulia. Partai politik bukanlah tujuan ber-politik. Partai politik adalah alat untuk mencapai tujuan mulia/cita-cita mulia.
Pertanyaannya ialah, apakah cita-cita mulia partai politik di Indonesia? Partai yang bernafaskan Islam tentu punya cita-cita berbeda dengan Partai yang bukan partai Islam. Pada titik inilah, isu perjuangan Pancasila bisa menjadi refleksi bagi partai-partai politik melakukan orientasi cita-cita mulia mereka.
Tidak mudah bicara Pancasila pasca Orde Baru. Banyak sekali luka, dusta, penganiayaan dan pembodohan yang terjadi atas nama Pancasila. Sudah ada stigma tentang Pancasila di tengah masyarakat luas sehingga Pancasila tidak lagi dianggap perlu dibicarakan.
Sesungguhnya, sulitnya berbicara tentang Pancasila pasca Orde Baru sejajar dengan kesulitan yang dialami umat Muslim di Amerika dan Eropa berbicara tentang Islam ke kelompok non Muslim pasca peristiwa WTC di Amerika. Pasca WTC, banyak pihak non Muslim yang sudah terlebih dahulu menutup diri dari membuka percakapan tentang Islam dengan pihak Muslim, dan pihak Muslim susah sekali berbicara tentang Islam kepada mereka. Ada stigma, ada trauma dan ada distrust yang memisahkan pihak Muslim dan pihak non Muslim.
Walau pihak Muslim menyadari bahwa pelaku WTC adalah Muslim, dan pihak Muslim memahami sikap non Muslim, pihak Muslim tetap senantiasa membuka diri dan melakukan kampanye-kampanye perdamaian berbasiskan perspektif keyakinan iman mereka, bukan berdasarkan perspektif keyakinan para kriminal WTC. Kampanye-kampanye itu nyata di sejumlah kampus, talk-show dan seterusnya. Akhir dari kampanye itu, masyarakat Muslim berhasil menampilkan gambaran Islam yang berbeda dengan Islam yang dipahami para kriminal WTC. Gambaran inilah yang jarang dan tidak terkomunikasikan dengan baik ke pihak non Muslim. Setelah menjalani kampanye selama beberapa waktu lamanya, kaum Muslim di Barat dan kaum non Muslim di Barat bisa bercakap tentang Islam secara lebih terbuka.
Belajar dari situasi sulit itulah, masyarakat Indonesia harus bisa kembali membuka pintu terhadap pembicaraan tentang Pancasila. Pertanyaan-pertanyaan berikut bisa menjadi awal pembicaraan: apa arti Pancasila bagi RT kami ? Apa arti Pancasila bagi RW kami ? Dan seterusnya.
Ada baiknya pembicaraan tentang Pancasila tidak hanya dikaitkan dengan pengalaman ‘pembajakan’ Pancasila oleh Orde Baru atau percakapan epistemologis tentang apa itu Pancasila, tetapi sangat baik hal perdamaian, kesejahteraan masyarakat, dan keadilan sosial saja yang dibicarakan. Ketiga hal ini merupakan persoalan kemanusiaan yang real dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, walau tidak menyebut Pancasila tetapi bila yang dipercakapkan adalah tentang perdamaian dan keadilan sosial maka pada percakapan itulah Pancasila hadir dan bisa di-maknakan ulang.
Bertolak dari hal tersebut, partai politik yang ada di bumi Indonesia seyogyanya berjuang bukan untuk pembentukan masyarakat ‘gangsterisme’ melainkan berjuang bagi nilai-nilai perdamaian, keadilan sosial dan kesejahteraan. Bila hal ini terjadi, partai politik bukan suatu gangster yang mengajarkan gangster-isme (yaitu kejahatan keuangan, pembunuhan karakter, dan seterusnya) melainkan suatu wadah pengelola kesejahteraan masyarakat, keadilan sosial dan perdamaian.
Namun demikian, bila partai-partai politik tidak bisa melakukan hal seperti yang disebutkan di atas maka partai-partai politik adalah suatu kelompok gangster. Sebab, gangster hanya mementingkan kepentingan kelompoknya, dan rela melakukan kejahatan kriminal (entah secara terlihat ataupun diam-diam) demi mengamankan kepentingannya. Bentuk dan perilaku partai politik seperti ini sudah tidak relevan dengan perjuangan kemanusiaan (dan sekaligus perjuangan Pancasila). Bila partai politik semacam ini tetap mendominasi suatu negara, niscaya perdamaian, kesejahteraan dan keadilan sosial tidak akan ada. Artinya, tidak hanya Pemerintahan Orde Baru yang ‘membajak’ Pancasila tetapi juga partai-partai politik yang ada juga melakukan hal yang sama. Meski Pancasila (mungkin) disebut-sebut di dalam partai politik, tetapi karena orientasi dan cita-cita partai politik adalah kepentingan partai maka hal itu adalah sejalan dengan perilaku gangster.
Artikel ini sedang tidak mempromosikan pola penghayatan Pancasila seperti yang dilakukan oleh Orde Baru, tetapi sebaliknya menjadikan merubah percakapan Pancasila dari percakapan epistemologis-ontologis menuju ke percakapan tentang kesejahteraan perut, ketersediaan rumah bagi kaum menengah ke bawah, keberanian berpikir mandiri dan kreatif, perasaan aman dari kejahatan, perasaan dihargai oleh negara, dan perasaan bangga menjadi bagian suatu bangsa. Di sinilah perjuangan modern Pancasila yaitu perjuangan kesejahteraan warga negara, kedaulatan harkat dan martabat manusia dan perdamaian dunia.
Apakah partai-partai politik di Indonesia ada untuk perjuangan tersebut di atas? Di jalur manakah partai politik anda? Apakah partai politik anda berada pada jalur ini? Malukah anda mempunyai partai politik yang ternyata adalah suatu kelompok gangster? Selamat Merenung dan Menjawab.

sumber : (http://psp.ugm.ac.id/partai-politik-gangsterisme-dan-perjuangan-pancasila.html)

Jumat, 08 April 2011

UUD 1945 dan Pancasila

NILAI-NILAI PANCASILA DAN UUD 1945
I. Pancasila
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Makna sila ini adalah:
* Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
* Hormat dan menghormati serta bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
* Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
* Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain.
2. Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Makna sila ini adalah:
* Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
* Saling mencintai sesama manusia.
*Mengembangkan sikap tenggang rasa.
* idak semena-mena terhadap orang lain.
* Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
* Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
* Berani membela kebenaran dan keadilan.
* Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari masyarakat Dunia Internasional dan dengan itu harus mengembangkan sikap saling hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
3. Persatuan Indonesia
Makna sila ini adalah:
* Menjaga Persatuan dan Kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
* Rela berkorban demi bangsa dan negara.
* Cinta akan Tanah Air.
* Berbangga sebagai bagian dari Indonesia.
* Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Makna sila ini adalah:
* Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
* Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
* Mengutamakan budaya rembug atau musyawarah dalam mengambil keputusan bersama.
* Berrembug atau bermusyawarah sampai mencapai konsensus atau kata mufakat diliputi dengan semangat kekeluargaan.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Makna sila ini adalah:
* Bersikap adil terhadap sesama.
* Menghormati hak-hak orang lain.
* Menolong sesama.
* Menghargai orang lain.
* Melakukan pekerjaan yang berguna bagi kepentingan umum dan bersama.
II. Makna Lambang Garuda Pancasila
* Perisai di tengah melambangkan pertahanan bangsa Indonesia
* Simbol-simbol di dalam perisai masing-masing melambangkan sila-sila dalam Pancasila, yaitu:
* Bintang melambangkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa
* Rantai melambangkan sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
* Pohon beringin melambangkan sila Persatuan Indonesia
* Kepala banteng melambangkan sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
* Padi dan Kapas melambangkan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
* Warna merah-putih melambangkan warna bendera nasional Indonesia. Merah berarti berani dan putih berarti suci
* Garis hitam tebal yang melintang di dalam perisai melambangkan wilayah Indonesia yang dilintasi Garis Khatulistiwa
* Jumlah bulu melambangkan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945), antara lain:
* Jumlah bulu pada masing-masing sayap berjumlah 17
* Jumlah bulu pada ekor berjumlah 8
* Jumlah bulu di bawah perisai/pangkal ekor berjumlah 19
* Jumlah bulu di leher berjumlah 45
* Pita yg dicengkeram oleh burung garuda bertuliskan semboyan negara Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “berbeda beda, tetapi tetap satu jua”.
III. Naskah Undang-Undang Dasar 1945
Sebelum dilakukan Perubahan, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37 pasal, 49 ayat, 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.
Setelah dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan
Tambahan.
Dalam Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, Sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.
IV. Sejarah
Sejarah Awal
Pada tanggal 22 Juli 1945, disahkan Piagam Jakarta yang kelak menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Naskah rancangan konstitusi Indonesia disusun pada waktu Sidang Kedua BPUPKI tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Periode 1945-1949
Dalam kurun waktu 1945-1949, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahu kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet Parlementer yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan penyimpangan UUD 1945.
Periode 1959-1966
Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 waktu itu.
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:
* Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara
* MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
* Pemberontakan G 30S
Periode 1966-1998
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan kembali menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun dalam pelaksanaannya terjadi juga penyelewengan UUD 1945 yang mengakibatkan terlalu besarnya kekuasaan pada Presiden.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat “sakral”, diantara melalui sejumlah peraturan:
* Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
* Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
* Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.
V. Perubahan UUD 1945
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mempertegas sistem presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
* Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999
* Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000
* Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001
* Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 1999

sumber : http://pormadi.wordpress.com/2007/10/01/nilai-nilai-pancasila-dan-uud-1945/

Penyimpangan amandemen UUD 1945

UUD 1945 Amandemen khususnya Pasal 1 ayat (2) menetapkan kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar dan Pasal 6A ayat (1) menetapkan ”Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat” , menurut pendapat saya perlu ditinjau ulang karena penyimpangan konstitusional. Amandemen tersebut bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 dan Pancasila
Kita telah sepakat bahwa pembukaan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara tidak boleh diubah. Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila inilah harus dipegang teguh sebagai sandaran amandemen UUD 1945 dan menjalankan pemerintahan.
Pembukaan UUD 1945 berikut batang tubuhnya dan Pancasila merupakan produk para Pendiri Negara dengan pemahaman sangat mendalam dan didukung oleh referensi yang luas, mencakup sebagian besar negara-negara di dunia dan menyesuaikannya dengan keunikan negara kita.
Notulen rapat-rapat BPUPKI dan PPKI mulai pertengahan Mei sampai Juli 1945 memberikan gambaran betapa mendalam dan tinggi mutu diskusi para Bapak Bangsa tentang sistem pemerintahan.
Dengan semangat kemandirian bangsa sebelum kemerdekaan, tidak mungkin lagi dilakukan perubahan Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila pada zaman sekarang ini karena sulit menghadirkan kembali “jiwa” dan pemahaman keinginan yang sesungguhnya dari mereka pendiri negara yang merancang dan mengesahkan hukum dasar tersebut kecuali perubahan pada batang tubuh UUD 45 yang mereka memang memperbolehkannya namun sekali lagi harus sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.
Kedaulatan rakyat adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sangat sesuai dengan sila ke empat dari Pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan.

Ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945 bahwa susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar pada pancasila yang mana pada sila kesatu adalah ketuhanan yang Maha Esa.
Jelas sekali kedaulatan rakyat berdasarkan kedaulatan Tuhan dimana seluruh rakyat harus berserah diri, ikhlas menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan Tuhan berdasarkan agama yang dianut. Hukum Tuhan diatas hukum manusia yang dibuat secara musyawarah dan mufakat berdasarkan sila-sila lain dari pancasila dan pembukaan UUD 1945. Begitu pula hak asasi Tuhan diatas hak asasi manusia.

Sungguh mulia pemikiran, pemberian dasar negara oleh para Pendiri Negara dimana mereka selalu menyadari kuasa mereka sesungguhnya atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dimana tersebut dalam pembukaan UUD 1945 dan produk – produk mereka lainnya. Dengan kesadaran ini melahirkan pengertian kekuasaan negara berdasarkan izin kuasa Allah semata.
Kesadaran kehadiran Allah disetiap saat kehidupan, sehingga tidak ada sama sekali dualisme masa/waktu, sekedar urusan dunia maupun sekedar urusan akhirat, karena sesungguhnya kedua urusan masa/waktu tersebut dalam kesatuan.

Kesadaran kehadiran Allah akan melahirkan bangsa besar dengan warga negara yang dapat mengendalikan hawa nafsu sehingga dapat menghindari segala kejahatan, korupsi, dengki , kikir, amarah, angkuh ,dll
Kesadaran kehadiran Allah akan merealisasikan cita-cita para Pendiri Bangsa sesuai pembukaan UUD 1945 yaitu suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Inilah sesungguhnya arti dari Bangsa yang religius yang diridhoi oleh Allah yang Maha Kuasa dan Maha Penyayang.
Negara Indonesia dianugerahi Allah dengan kekayaan alam dan budaya. Namun karena pemerintahan dan seluruh elemen pemimpin bangsa belum menyadari apa yang dicita-citakan oleh para Pendiri Bangsa sehingga rakyat belum merasakan kemakmuran dan keadilan merata. Tidak ada kata terlambat dan harus dilakukan perubahan dari mulai sekarang. Semoga Allah meridhoinya.

Penyimpangan Pancasila

Pada saat ini,Pancasila sebagai dasar negara Indonesia sudah semakin tergeser dari fungsi dan kedudukannya dalam era demokrasi ini. Paham ini sebelumnya sudah dianut oleh Amerika yang notabene adalah sebuah Negara adidaya dan bukan lagi termasuk negara berkembang, pun di Amerika sendiri yang sudah berabad- abad menganut demokrasi masih dalam proses demokratisasi. Artinya sistem demokrasi Amerika serikat sedang dalam proses dan masih memakan waktu yang cukup lama untuk menjadi Negara yang benar- benar demokratis. Namun jika dibandingkan Indonesia, demokratisasi di Amerika sudah lebih menghasilkan banyak kemajuan bagi negaranya.
Sebuah sila dari Pancasila yang hampir tidak diterapkan lagi dalam demokratisasi di Indonesia adalah sila ke-4 yang berbunyi ” Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan/dalam permusyawaratan perwakilan”. Hal ini terlihat jelas pada pelaksaan pemilu yang berbeda jauh dari pelaksanaan pemilu pada saat Orde Baru. Pemilu saat ini, baik pemilihan Caleg,Bupati,Gubernur,bahkan sampai tingkatan Presiden semua warga negara Indonesia diberi hak sepenuhanya untuk ikut memilih. Padahal dalam sila ke-4 Pancasila jelas- jelas disebutkan bahwa Kerakyatan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Artinya yaitu :
1. Kerakyatan disini adalah rakyat Indonesia itu sendiri,
2. Hikmat kebijaksanaan adalah sebuah lembaga perwakilan kerakyatan (dalam hal ini DPD,DPRD, DPR) yang mempunyai kewenangan dan kebijaksanaan,dan berperan sebagai wakil rakyat pada saat pemilu bupati,gubernur dan presiden.
3. sedangkan permusyawaratan perwakilan adalah sebuah musyawarah (dalam hal ini adalah pemilihan caleg,bupati,hingga presiden) yang hendaknya dalam proses itu rakyat diwakilkan oleh lembaga yang lebih mempunyai kebijaksanaan (DPRD,DPDatauDPR).
Namun, dalam kenyataannya,pelaksanaan pemilu (permusyawaratan perwakilan) dalam pelaksaan demokrasi di Indonesia ini, semua rakyat ikut serta dalam pemilihan tersebut. Hal ini ada baiknya, ada buruknya pula. Baiknya yaitu kita bisa belajar menghargai pendapat orang lain. Namun buruknya adalah yang menjadi pemenang bukan dilihat dari kualitas, tetapi menang karena kuantitas. Hal ini disebabkan karena pemilih kebanyakan adalah rakyat biasa, dan jika dilihat dari rata- rata pendidikan di Indonesia yang mencapai pendidikan tingkat menengah saja kurang dari 30% dari total seluruh penduduk Indonesia, dan mereka yang ikut memilih belum tentu mengerti dan paham kinerja dan prestasi calon yang akan ditarungkan pada pemilu tersebut.
Karena hal inilah mengapa dalam Pancasila (sila ke-4) sudah diatur bahwa yang berhak memilih hanyalah wakil- wakil rakyat yang mempunyai kebijakan (DPD,DPRD,DPR), pendidikan dan pemahaman tentang calon- calon yang akan dipilih yang lebih tinggi dan luas dari kebanyakan rakyat di Indonesia,para wakil-wakil rakyat tentunya akan memilih calon berdasarkan kualitas dan berusaha memilih yang terbaik untuk rakyatnya. Bayangkan jika misal lebih dari 80% penduduk Indonesia yang berpendidikan rendah dan belum paham betul siapa dan bagaimana karakteristik calon yang akan dipilih, mereka semua diberi hak untuk memilih, tentu saja mereka tidak akan memilih berdasarkan kualitas,mereka akan memilih karena ajakan teman atau tetangga, memilih calon yang telah mengadakan kampanye di daerahnya dan membagi- bagikan banyak uang agar dipilih. Hal ini sangat menyedihkan karena bisa saja jika sudah terpilih nanti,calon tadi tidak melaksanakan tugasnya dengan baik, malah bisa saja melakukan korupsi dan kejelekan- kejelekan lain yang bisa menjatuhkan namanya atau bahkan institusinya bahkan partai yang mengusungnya.
Memang dalam pemilihan caleg DPD,DPRD, dan DPR rakyat harus ikut memilih tetapi dalam pemilihan bupati,gubernur dan presiden,yang berhak memilih hanyalah wakil-wakil rakyat saja(sesuai dengan sila ke-4). Namun dalam pelaksanaannya, baik memilih bupati,gubernur, maupun presiden semua rakyat Indonesia saat ini diberi hak untuk memilih. Mungkin saja, Indonesia meniru sistem politik Amerika. Namun dalam hal ini Amerika sendiri sudah sejak berabad- abad yang lalu menerapkan demokrasi dan jelas bahwa demokrasi di Amerika sudah tertata rapih dibanding Indonesia.
Tidak usah kita bandingkan antara pemilu Amerika dan Indonesia. Kita sudah banyak melihat pemilihan bupati dan gubernur di berbagai daerah di Indonesia, hampir semuanya diwarnai kericuhan karena tidak terima calon bupati atau gubernurnya kalah dalam pemilu, para massa yang mendukung pasti akan mengadakan demonstasi, bahkan seringkali merusak kantor yang menangani perhitungan suara pemilu. Hal ini tidak akan terjadi apabila dalam pemilihan bupati atau gubernur diwakilkan oleh wakil rakyat saja (DPD dan DPRD,DPR jika pemilihan presiden)
Tidak hanya pemilu saat ini saja yang telah jauh dari pancasila. UUD 1945 yang diamandemen dengan seenaknya dan sudah berjalan beberapa kalipun termasuk dalam penyimpangan Pancasila.

Illegal Logging



Illegal Logging
Pembalakan liar atau penebangan liar (bahasa Inggris: illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Walaupun angka penebangan liar yang pasti sulit didapatkan karena aktivitasnya yang tidak sah, beberapa sumber terpercaya mengindikasikan bahwa lebih dari setengah semua kegiatan penebangan liar di dunia terjadi di wilayah-wilayah daerah aliran sungai Amazon, Afrika Tengah, Asia Tenggara, Rusia dan beberapa negara-negara Balkan.

Fakta penebangan liar Dunia
Sebuah studi kerjasama antara Britania Raya dengan Indonesia pada 1998 mengindikasikan bahwa sekitar 40% dari seluruh kegiatan penebangan adalah liar, dengan nilai mencapai 365 juta dolar AS Studi yang lebih baru membandingkan penebangan sah dengan konsumsi domestik ditambah dengan elspor mengindikasikan bahwa 88% dari seluruh kegiatan penebangan adalah merupakan penebangan liar. Malaysia merupakan tempat transit utama dari produk kayu ilegal dari Indonesia.

AMERIKA SELATAN
Di Brasil, 80% dari penebangan di Amazon melanggar ketentuan pemerintah.Korupsi menjadi pusat dari seluruh kegiatan penebangan ilegal tersebut. Produk kayu di Brasil sering diistilahkan dengan "emas hijau" dikarenakan harganya yang mahal (Kayu mahogani berharga 1.600 dolar AS per meter kubiknya). Mahogani ilegal membuka jalan bagi penebangan liar untuk spesies yang lain dan untuk eksploitasi yang lebih luas di Amazon.</br>

Dampak yang ditimbulkan oleh pembalakan liar :
1. Data yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 1985-1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan.
2. Berdasarkan hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumberdaya hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi.
3. Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang sama. Menurut analisis World Bank, hutan di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun 2010.
4. Praktek Illegal logging dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumberdaya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$1.4 milyar setiap tahun. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumberdaya hutan.
5. Penelitian Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai angka 3,8 juta hektar pertahun, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas illegal logging atau penebangan liar (Johnston, 2004). Sedangkan data Badan Penelitian Departemen Kehutanan menunjukan angka Rp. 83 milyar perhari sebagai kerugian finansial akibat penebangan liar.