Jumat, 15 April 2011

Partai Politik, Gangsterisme dan Perjuangan Pancasila


     Simone Weil dalam tulisannya ‘Note sur la suppression génerale des partis politiques’ mengatakan bahwa pada dasarnya partai politik adalah totaliter (Weil, 1957 :126-148). Hal itu disebabkan karena 1. partai politik adalah mesin pengelola semangat masyarakat (publik), 2. partai politik memaksakan kehendaknya kepada anggotanya dan mereka yang dekat dengannya, dan 3. partai politik memandang kebaikan tertinggi adalah perkembangan dan pertumbuhan partai. Di pihak lain, Hannah Arendt mengetengahkan diskursus sistim dewan yang dipimpin oleh orang-orang yang terbaik. Orang-orang yang terbaik itu bukan kumpulan orang-orang kaya ataupun orang-orang terhormat, tetapi orang-orang yang memahami makna kemerdekaan publik dan tidak dapat hidup tanpanya (Shanks, 1995 :202).

Umum diketahui bahwa partai politik dipandang sebagai alat pencapai kesejahteraan masyarakat. Hal ini setidaknya terbukti dari janji-janji politik dari para calon presiden, calon gubernur dan calon bupati. Janji-janji mereka memperlihatkan adanya ideologi partai politik sebagai alat pencapai kesejahteraan masyarakat. Pada titik ini, partai politik kontemporer dapat dipandang sebagai kelanjutan cita-cita polis di Yunani Kuno.
Walau partai politik mencanangkan dan menempatkan kesejahteraan masyarakat sebagai brand-mark dan anggota-anggota partai politik (di dewan) telah banyak berkiprah di dalam pembangunan masyarakat, masyarakat luas (publik) jangan gelap mata atau terpuaskan dengan hal itu. Weil dalam tulisannya di atas merekomendasikan penghapusan partai politik, dan Shanks –dalam tanggapannya kepada pemikiran Arendt di atas- mengatakan bahwa bahaya lain dari sistim dewan yaitu gangsterisme. Walaupun Arendt mengatakan ‘orang-orang yang terbaik’ yang menempati dewan, Shanks melihat justru orang-orang itu adalah semacam gangsterisme.
Ada hubungan antara sistim partai dengan sistim dewan yaitu: orang-orang yang duduk di dewan adalah orang-orang partai. Hubungan semacam ini sangat jelas di Indonesia. Setidaknya, sebagian besar anggota-anggota dewan adalah anggota partai. Sementara itu, pengalaman empiris menunjukkan banyak sekali kekecewaan masyarakat terhadap anggota dewan (yang adalah sebagian besar anggota partai politik) meski masih banyak juga anggota masyarakat (publik) yang masih terlibat untuk memilih anggota partai politik (untuk menjadi anggota dewan). Isu masih banyaknya anggota masyarakat yang memilih adalah masalah berbeda dari isu kekecewaan masyarakat terhadap partai politik.
Bertolak dari kekecewaan itu dan mencegah partai politik menjadi kelompok gangster, persoalan yang harus dicermati adalah bagaimana menjaga partai politik yang sudah ada tetap sebagai cara/alat untuk mencapai cita-cita mulia. Partai politik bukanlah tujuan ber-politik. Partai politik adalah alat untuk mencapai tujuan mulia/cita-cita mulia.
Pertanyaannya ialah, apakah cita-cita mulia partai politik di Indonesia? Partai yang bernafaskan Islam tentu punya cita-cita berbeda dengan Partai yang bukan partai Islam. Pada titik inilah, isu perjuangan Pancasila bisa menjadi refleksi bagi partai-partai politik melakukan orientasi cita-cita mulia mereka.
Tidak mudah bicara Pancasila pasca Orde Baru. Banyak sekali luka, dusta, penganiayaan dan pembodohan yang terjadi atas nama Pancasila. Sudah ada stigma tentang Pancasila di tengah masyarakat luas sehingga Pancasila tidak lagi dianggap perlu dibicarakan.
Sesungguhnya, sulitnya berbicara tentang Pancasila pasca Orde Baru sejajar dengan kesulitan yang dialami umat Muslim di Amerika dan Eropa berbicara tentang Islam ke kelompok non Muslim pasca peristiwa WTC di Amerika. Pasca WTC, banyak pihak non Muslim yang sudah terlebih dahulu menutup diri dari membuka percakapan tentang Islam dengan pihak Muslim, dan pihak Muslim susah sekali berbicara tentang Islam kepada mereka. Ada stigma, ada trauma dan ada distrust yang memisahkan pihak Muslim dan pihak non Muslim.
Walau pihak Muslim menyadari bahwa pelaku WTC adalah Muslim, dan pihak Muslim memahami sikap non Muslim, pihak Muslim tetap senantiasa membuka diri dan melakukan kampanye-kampanye perdamaian berbasiskan perspektif keyakinan iman mereka, bukan berdasarkan perspektif keyakinan para kriminal WTC. Kampanye-kampanye itu nyata di sejumlah kampus, talk-show dan seterusnya. Akhir dari kampanye itu, masyarakat Muslim berhasil menampilkan gambaran Islam yang berbeda dengan Islam yang dipahami para kriminal WTC. Gambaran inilah yang jarang dan tidak terkomunikasikan dengan baik ke pihak non Muslim. Setelah menjalani kampanye selama beberapa waktu lamanya, kaum Muslim di Barat dan kaum non Muslim di Barat bisa bercakap tentang Islam secara lebih terbuka.
Belajar dari situasi sulit itulah, masyarakat Indonesia harus bisa kembali membuka pintu terhadap pembicaraan tentang Pancasila. Pertanyaan-pertanyaan berikut bisa menjadi awal pembicaraan: apa arti Pancasila bagi RT kami ? Apa arti Pancasila bagi RW kami ? Dan seterusnya.
Ada baiknya pembicaraan tentang Pancasila tidak hanya dikaitkan dengan pengalaman ‘pembajakan’ Pancasila oleh Orde Baru atau percakapan epistemologis tentang apa itu Pancasila, tetapi sangat baik hal perdamaian, kesejahteraan masyarakat, dan keadilan sosial saja yang dibicarakan. Ketiga hal ini merupakan persoalan kemanusiaan yang real dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, walau tidak menyebut Pancasila tetapi bila yang dipercakapkan adalah tentang perdamaian dan keadilan sosial maka pada percakapan itulah Pancasila hadir dan bisa di-maknakan ulang.
Bertolak dari hal tersebut, partai politik yang ada di bumi Indonesia seyogyanya berjuang bukan untuk pembentukan masyarakat ‘gangsterisme’ melainkan berjuang bagi nilai-nilai perdamaian, keadilan sosial dan kesejahteraan. Bila hal ini terjadi, partai politik bukan suatu gangster yang mengajarkan gangster-isme (yaitu kejahatan keuangan, pembunuhan karakter, dan seterusnya) melainkan suatu wadah pengelola kesejahteraan masyarakat, keadilan sosial dan perdamaian.
Namun demikian, bila partai-partai politik tidak bisa melakukan hal seperti yang disebutkan di atas maka partai-partai politik adalah suatu kelompok gangster. Sebab, gangster hanya mementingkan kepentingan kelompoknya, dan rela melakukan kejahatan kriminal (entah secara terlihat ataupun diam-diam) demi mengamankan kepentingannya. Bentuk dan perilaku partai politik seperti ini sudah tidak relevan dengan perjuangan kemanusiaan (dan sekaligus perjuangan Pancasila). Bila partai politik semacam ini tetap mendominasi suatu negara, niscaya perdamaian, kesejahteraan dan keadilan sosial tidak akan ada. Artinya, tidak hanya Pemerintahan Orde Baru yang ‘membajak’ Pancasila tetapi juga partai-partai politik yang ada juga melakukan hal yang sama. Meski Pancasila (mungkin) disebut-sebut di dalam partai politik, tetapi karena orientasi dan cita-cita partai politik adalah kepentingan partai maka hal itu adalah sejalan dengan perilaku gangster.
Artikel ini sedang tidak mempromosikan pola penghayatan Pancasila seperti yang dilakukan oleh Orde Baru, tetapi sebaliknya menjadikan merubah percakapan Pancasila dari percakapan epistemologis-ontologis menuju ke percakapan tentang kesejahteraan perut, ketersediaan rumah bagi kaum menengah ke bawah, keberanian berpikir mandiri dan kreatif, perasaan aman dari kejahatan, perasaan dihargai oleh negara, dan perasaan bangga menjadi bagian suatu bangsa. Di sinilah perjuangan modern Pancasila yaitu perjuangan kesejahteraan warga negara, kedaulatan harkat dan martabat manusia dan perdamaian dunia.
Apakah partai-partai politik di Indonesia ada untuk perjuangan tersebut di atas? Di jalur manakah partai politik anda? Apakah partai politik anda berada pada jalur ini? Malukah anda mempunyai partai politik yang ternyata adalah suatu kelompok gangster? Selamat Merenung dan Menjawab.

sumber : (http://psp.ugm.ac.id/partai-politik-gangsterisme-dan-perjuangan-pancasila.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar