Jumat, 15 April 2011

Soal Perubahan UUD 1945

 Tanpa Penyerasian Akan Ciptakan Masalah
Kompas: 29 Julo 2002
Jakarta, Kompas - Tanpa proses sinkronisasi dan penyerasian sistematika, perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dapat menimbulkan banyak masalah di kemudian hari. Naskah perubahan UUD 1945 akan menjadi konstitusi yang sulit dipahami rakyat dan dipandang lucu oleh banyak negara karena memiliki kekacauan sistematika. Oleh karena itu, meski materi perubahan UUD 1945 disahkan di Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (ST MPR) 2002, sistematika penyusunan pasal dalam perubahan UUD 1945 masih perlu diserasikan.
Demikian pendapat Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia, Prof Dr Jimly Asshiddiqie, kepada Kompas, Sabtu (27/7).
Di tempat terpisah, staf pengajar Ilmu Pemerintahan pada Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) Yogyakarta, Widyo Hari Murdianto, mengakui, ada pasal-pasal dalam perubahan UUD 1945 yang tak sinkron. Ini terjadi karena proses perubahan konstitusi itu kurang terencana dan cenderung reaktif. Di sisi lain, paradigma kekuasaan anggota MPR yang masih sentralistis tidak sepenuhnya berubah. Salah satu pasal yang bisa menciptakan konflik kelembagaan adalah soal Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Selain tidak sinkron dalam perubahan UUD 1945, ketidaksinkronan juga terjadi antara perubahan UUD 1945 dengan Ketetapan MPR. "Dalam satu lembaga yang sama, bisa muncul rumusan yang berbeda-beda," kata Bambang Widjojanto dalam seminar di Malang.
Jimly juga mengatakan, hubungan pasal-pasal dalam perubahan UUD 1945 juga belum sempurna. Dengan demikian, jika dirinci satu per satu, bisa saja menimbulkan konflik antarlembaga dalam tahap implementasi di kemudian hari. Namun, hal tersebut tidak terlalu merisaukan karena dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 24B telah diatur keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) yang salah satu tugasnya adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD.
Pada Rancangan Perubahan Keempat UUD 1945 Aturan Peralihan, Pasal III, juga telah diatur pembentukan MK, yaitu selambat-lambatnya 17 Agustus 2003. Sedangkan sebelum MK terbentuk, segala kewenangan MK dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).
"Jadi, kalaupun di kemudian hari seandainya terjadi perbedaan penafsiran antarlembaga dalam menafsirkan UUD, hal itu dapat segera diselesaikan karena sudah ada jalan keluarnya," ucap Jimly.
Untuk merumuskan konstitusi yang sempurna, lanjutnya, memang sulit. Panitia Ad Hoc (PAH) I sesungguhnya sudah bekerja keras merumuskan perubahan UUD 1945. Ketidaksempurnaan terjadi semata-mata karena perubahan dilakukan secara bertahap, tanpa catatan akademis, perubahan pun dilakukan dengan cepat dan banyak sekali.
Penyerasian sistematika
Menurut Jimly, persoalan kekacauan sistematika perubahan UUD 1945 jauh lebih krusial. Alasannya, dalam ilmu hukum, metode sistematika yang keliru dapat menimbulkan penafsiran yang juga keliru.
Dijelaskan, dalam sistematika hukum yang berlaku universal, pasal yang memuat prinsip-prinsip dasar selalu ditempatkan mendahului pasal yang mengatur prinsip-prinsip teknis. Oleh karena itu, dalam konstitusi di banyak negara, pasal yang mengatur tentang hak asasi manusia ditempatkan di bagian depan. Akan tetapi, dalam Perubahan Kedua UUD 1945, pasal yang mengatur hak asasi manusia malah ditempatkan di bagian belakang, yaitu Bab XA.
Perubahan UUD 1945 juga belum menempatkan pasal-pasal yang mengatur organ-organ negara dalam satu kesatuan sehingga menyulitkan penafsiran. Dicontohkan, MPR, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan lembaga perwakilan, ditempatkan dalam bab-bab yang terpisah. MPR ditempatkan dalam Bab II, DPR ditempatkan dalam Bab VII, sedangkan DPD diatur dalam Bab VIIA.
Kekacauan sistematika tersebut terjadi sebagai dampak dari adanya ketidakkonsistenan penerapan metode perubahan. Secara formal menggunakan metode adendum, penambahan. Namun, pada praktiknya banyak mengubah materi konstitusi yang ada, baik dari segi kuantitas maupun susbstansi.
Disadari MPR
Jimly berpendapat, PAH I Badan Pekerja (BP) MPR telah menyadari adanya ketidaksempurnaan sistematika perubahan UUD 1945. Akan tetapi, MPR berada dalam posisi sulit. Di satu sisi tidak puas dengan UUD 1945, di pihak lain khawatir untuk membentuk UUD baru. "Jadi, saya percaya, dengan kearifannya, mereka sedang mencari celah untuk menyelesaikan persoalan ini," ucapnya.
Sebagai jalan tengah, Jimly mengusulkan agar seluruh materi perubahan UUD 1945 disahkan di ST MPR 2002. Namun, ST MPR juga diharapkan mengeluarkan Ketetapan MPR yang menetapkan agar substansi materi perubahan UUD 1945 diserasikan dalam satu naskah. MPR juga menugaskan kepada Badan Pekerja MPR untuk membentuk Panitia Penyerasi Naskah Konstitusi.
Keanggotaan Panitia Penyerasi tersebut bisa hanya terdiri dari para ahli yang memiliki kemampuan teknis dalam menyusun perundang-undangan, bisa juga merupakan gabungan antara ahli dan Badan Pekerja MPR.
Soal DPD
Widyo Hari Murdianto mencontohkan keberadaan DPD. Sesuai perubahan UUD 1945, DPD bukan hanya merepresentasikan daerah, tetapi juga diberikan hak dan wewenang untuk ikut membahas rancangan undang-undang (RUU) yang terkait dengan otonomi daerah dan pemekaran wilayah. Tetapi, DPD tak diberikan wewenang untuk ikut mengesahkan UU.
"Kewenangan untuk mengesahkan UU kan tetap berada di tangan DPR dan Presiden. Jadi, kalau DPD ikut membahas, apa fungsinya. Tampak sekali perubahan konstitusi masih setengah hati mengakui otonomi daerah atau desentralisasi. Dari perubahan UUD 1945 ini tampak ada kekuasaan yang sentralistis. DPD boleh ikut membahas RUU, tetapi giliran mengesahkan, tetap pemerintah pusat, yakni DPR dan Presiden. Daerah hanya menerima saja," ujar mantan Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan STPMD Yogyakarta tersebut.
Widyo Hari memperkirakan, apabila Perubahan Keempat UUD 1945 tetap disahkan dalam ST MPR tahun ini, namun tidak ada upaya sinkronisasi perubahan konstitusi dari perubahan pertama sampai keempat, di tengah jalan akan muncul berbagai persoalan. Akan muncul problema hukum dan politik di kemudian hari, yang tidak bisa begitu saja diselesaikan oleh pemerintah, sebab pengaturannya dalam konstitusi tidak jelas.
"Paling gampang, kalau DPD tidak setuju terhadap suatu RUU yang akan disahkan DPR dan Presiden yang terkait dengan daerah, apa yang bisa dilakukannya? Ini pasti di masa mendatang, jika tidak ada upaya sinkronisasi perubahan konstitusi, akan muncul dan menyulitkan bangsa ini sendiri," paparnya.
UUD 1945 dan Tatib
Sejumlah pasal di Peraturan Tata Tertib (Tatib) MPR yang dikerjakan Panitia Ad Hoc (PAH) II Badan Pekerja MPR ternyata tidak sinkron dengan hasil perubahan UUD 1945 yang dikerjakan PAH I BP MPR. Padahal semestinya Peraturan Tata Tertib MPR dibuat sebagai turunan dari perubahan UUD 1945.
Ketua PAH II Rambe Kamarulzaman (Fraksi Partai Golkar) dan anggota PAH II dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) Agus Tjondro Prayitno, yang dihubungi secara terpisah hari Sabtu, mengakui, memang ada sejumlah pasal di Tata Tertib MPR yang tidak sesuai dengan hasil perubahan UUD 1945.
"Karena nanti soal tata tertib ini dibahas di komisi, tidak di awal sidang tahunan, kami di PAH II sepakat sinkronisasi antara perubahan Tata Tertib MPR dan perubahan UUD 1945 dilakukan oleh fraksi masing-masing," ujar Rambe.
Sejumlah pasal tata tertib yang tidak sinkron dengan perubahan UUD 1945 itu terutama berkaitan dengan kewenangan MPR. Sesuai dengan hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 3, kewenangan MPR nanti hanya ada tiga. Pertama, mengubah dan menetapkan UUD. Kedua, melantik presiden dan/atau wakil presiden. Ketiga, memberhentikan presiden dan/ atau wakil presiden.
Agus Tjondro Prayitno berpendapat, setelah Pasal 1 Ayat (2) diubah, MPR bukan lagi superbody dan kewenangannya dibatasi dalam Pasal 3. Naskah Asli Pasal 1 Ayat (2) berbunyi, Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pada Perubahan Ketiga UUD 1945, Pasal 1 Ayat (2) berbunyi, Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Dengan adanya perubahan UUD 1945, MPR tidak lagi berwenang mencalonkan presiden dan wakil presiden karena sekarang kewenangannya ada di partai politik. MPR juga tidak lagi berwenang menguji undang-undang terhadap UUD karena kewenangan itu ada pada MK.
Agus Tjondro mengungkapkan, penambahan kewenangan MPR selain yang diatur dalam perubahan UUD 1945 paling tidak disebabkan oleh tiga hal. Pertama, masih ada kebingungan di sebagian anggota MPR untuk mengoperasikan UUD 1945 hasil perubahan. Kedua, tidak rela dengan berkurangnya kewenangan MPR pascaperubahan UUD 1945. "Ketiga, kemungkinan ini menjadi mainan politik untuk Pemilihan Umum 2004," katanya.
Rambe berpendapat penyesuaian tata tertib dengan hasil perubahan UUD 1945 itu harus dilakukan secara bertahap sehingga tidak bisa diselesaikan dalam Sidang Tahunan MPR 2002. "Yang jelas, tata tertib ini harus tuntas pada Sidang Tahunan MPR 2003 yang akan dipakai untuk menyesuaikan Ketetapan-ketetapan MPR dengan hasil perubahan UUD 1945. Tetapi di Sidang Tahunan MPR 2002 yang harus dilakukan misalnya penyesuaian peristilahan lembaga tinggi negara yang sudah berubah," katanya. (BUR/TRA/SUT)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar